Sekedar Sharing pengalaman, dan juga sebagai Catatan Pribadi seorang Eko Sartono yang semoga bermanfaat buat orang lain.

Jumat, 05 November 2010

Atasi Kemacetan Jakarta dengan 'Jalan Maya'

Penulis :  Deddy Yudiant - detikinet


Jakarta - Kota Jakarta sangat akrab dengan kemacetan. Itulah mengapa berbagai proyek pembangunan infrastruktur jalan digulirkan, sementara program lainnya seperti Three in One diterapkan makin ketat dengan rentang waktu yang makin panjang serta akan diberlakukannya Electronic Road Pricing (ERP).

Sebenarnya, cara seperti itu boleh saja dilakukan, tetapi hal tersebut hanya mengatasi kemacetan dengan memindahkan simpul kemacetan yang satu ke simpul yang lain dengan cara instan yang hanya bisa mengatasi sejumlah titik secara sementara saja.

Cara-cara instan seperti itu tidak akan benar-benar menyelesaikan masalah, karena kemacetan tetap saja akan terjadi di Ibu Kota meski pada simpul jalan lainnya karena akar permasalahan yang utama adalah mengapa semua orang harus keluar rumah sementara solusi Transportasi dan jalan belum bisa fully integrated mendukung kebutuhan tersebut, seperti di kota Besar dunia lainnya, sementara pertumbuhan jumlah manusia serta urbanisasi ke Jakarta sangat tidak seimbang.



Apalagi metode Three in One, penumpukan kendaraan dapat dipastikan terjadi di jalan—jalan di luar area Three in One, sehingga malah mengakibatkan kemacetan yang luar biasa di ruas jalan lainnya.

Inefisiensi waktu akan terus terjadi apabila Pemprov Jakarta tidak bisa menyelesaikan persoalan kemacetan tersebut, karena ujung-ujungnya adalah pada berkurangnya produktivitas & tingkat psikologis yang mengkhawatirkan. Orang menjadi mudah stress, lelah, emosional serta keterbatasan bekerja dan berbisnis yang akhirnya akan melemahkan perekonomian kota --bahkan nasional mengingat Jakarta merupakan pusat perekonomian negara ini.

Pola-pola pemindahan waktu kerja atau sekolah juga hanya menambah persoalan baru, sementara persoalan utama, yaitu masalah kemacetan masih terus terjadi.

Terobosan

Perlu adanya terobosan baru, yaitu dengan memanfaatkan jaringan teknologi informasi. Terbukti, dengan infrastruktur teknologi informasi beserta aplikasi yang tertanam di dalamnya, masyarakat lebih dimudahkan sehingga tidak memerlukan banyak mobilitas di jalan.

Contoh yang nyata dengan SMS dan MMS serta email dalam rangka Idul Fitri belum lama ini. Berapa banyak kartu digital yang terkirim tanpa kita harus bersusah payah membeli kartu pos dan Perangko serta mengirimnya ke kantor Pos di Pasar baru? Bisa bayangkan kalau itu semua dilakukan secara manual dalam kondisi sekarang.

Contoh kecil lain adalah keberadaan ATM yang memanfaatkan jaringan VSAT atau fiber optic, sangat membantu masyarakat dalam menghemat waktu dan tenaga dalam melakukan transaksi tarik tunai, pembayaran tagihan, transfer, dan lainnya.

Selain menghemat waktu, keberadaan ATM yang umumnya lebih mendekati permukiman dan pusat perbelanjaan juga sangat mengurangi mobilitas masyarakat yang tidak perlu ke bank untuk melakukan transaksi perbankan yang sederhana, sehingga secara otomatis akan mengurangi kemacetan.

Pengurangan mobilitas sehingga menciptakan efisiensi waktu dan biaya akan lebih tinggi lagi apabila banyak masyarakat yang memanfaatkan layanan mobile banking dalam melakukan transaksi perbankan.

Hanya dari rumah atau kantor, masyarakat bisa melakukan tarnsaksi pembayaran, transfer, dan pengecekan saldo sehingga akan lebih mengurangi dampak kemacetan. Dari sekitar 180 juta pengguna seluler, apabila sekitar 25% nya berada di Jakarta, dan dari 25% tersebut ada sekitar 10% yang menggunakan mobile banking, maka  kemacetan Jakarta sumbangan urusan Perbankan dapat dikurangi oleh mobilitas 4,5 juta pengguna mobile banking.

Jalan Maya vs Jalan Fisik


Itu hanya lah sekelumit cerita mengenai penggunaan teknologi informasi dalam mengurai kemacetan Jakarta, sehingga solusi berupa pembangunan infrastruktur seperti jalan layang, underpass, flyover, jalan Tol dan pelebaran jalan sebenarnya tidak secara signifikan mengurai tuntas kemacetan Jakarta --kalau tidak mau dibilang mubazir. Solusi itu juga malah menimbulkan biaya tinggi, karena ada beberapa ratus perempatan di Jakarta, jadi berapa yang harus dibangun flyover atau underpass?

Apabila menginginkan jalanan Jakarta lengang tetapi tetap produktif dan perekonomian tidak terganggu, manfaatkan jaringan broadband dalam kehidupan sehari—hari.

Kementerian Kominfo belum memiliki roadmap telekomunikasi yang jelas dalam turut mengantisipasi hal ini. Kominfo terkesan lebih mengutamakan penutupan situs porno, sementara persoalan yang lebih penting yaitu kemudahan akses telekomunikasi dalam mereduksi kemacetan kurang terpikirkan.

Sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Kominfo, bekerjasama dengan Pemprov DKI mempercepat broadband to the home. Bahkan, sampai fiber to the Home seharusnya.

Pemerintah bisa saja menyediakan lubang-lubang galian untuk penempatan fiber optic. Pemerintah bisa langsung menyeleksi 10 operator yang memiliki layanan paling bagus dan harga paling murah bagi masyarakat untuk bisa menggunakan lubang galian tersebut guna ditempatkan kabel optik dalam bentuk subsidi sarana.

Dengan broadband to the home, maka akses broadband murah dapat dinikmati masyarakat untuk melakukan kegiatan apa pun tanpa harus turun ke jalan sehingga sangat signifikan mengurangi mobilitas.

Dengan broadband to the home, masyarakat bisa melakukan video conference tanpa harus pergi ke tempat rapat, bahkan bisa dari rumah. Keputusan-keputusan penting bisa saja dihasilkan melalui video conference tersebut, sementara notulen hasil rapat bisa dikirim ke e-mail masing-masing.

Meski mungkin belum terbiasa betul, tetapi apabila hal tersebut sering dilakukan, maka masyarakat dan eksekutif bisnis atau pemerintahan di Ibu Kota lama-lama akan terbiasa.

Selain video conference, semua pekerjaan kantor juga bisa dilakukan di rumah secara online, sementara percakapan bisa menggunakan aplikasi chatting yang saat ini marak, seperti Google Talk dan Yahoo! Messenger. Bahkan, bisa menggunakan aplikasi buatan anak bangsa agar terjadi penghematan bandwidth ke Luar negeri yang signifikan.

Home Schooling dan Belanja


Kegiatan belajar mengajar di sekolah juga sangat mungkin dilakukan melalui video interactive antara siswa dengan guru. Guru dan siswa bisa saling bertanya dan menjawab melalui jaringan broadband. Buku-buku yang wajib dibaca juga bisa ditanamkan melalui e-book yang bisa disediakan oleh guru atau dibeli melalui toko online.

Metode sekolah di rumah atau home schooling sudah mulai marak di Jakarta dan hal tersebut sangat membantu mengurai kemacetan di Ibu Kota, terutama pada jam-jam sibuk. Belajar bersama juga tetap bisa dilakukan melalui video conference atau webcam pada aplikasi chatting.

Dengan metode pembelajaran home schooling, para siswa justru mendapat kesempatan sangat besar untuk melakukan hal lainnya yang kreatif, atau berselancar di dunia maya untuk mendapatkan pengetahun umum yang bermanfaat.

Ibu—ibu rumah tangga juga sangat bisa memanfaatkan broadband to the home tersebut, yaitu untuk pembelian perangkat rumah tangga, baju, dan lainnya melalui toko online yang saat ini juga sangat marak. Baik yang pembayarannya melalui kartu kredit atau transfer antar bank lewat mobile banking atau Internet banking.

Apabila ditelaah lebih jauh, ternyata hidup jadi terasa sangat mudah dengan broadband to the home. Mobilitas masyarakat akan turun sangat signifikan sehingga persoalan kemacetan Jakarta akan teratasi langsung ke substansinya.

Mungkin mobilitas hanya akan terjadi apabila masyarakat ingin bertamasya untuk sekedar refreshing dan meninggalkan kejenuhan sejenak selama berada di rumah, meski dengan aplikasi games online anak-anak juga sudah cukup untuk refreshing.

Banyak Lagi


Sebenarnya, masih banyak hal yang belum diungkapkan mengenai manfaat broadband to the home dalam mengurai kemacetan Jakarta. Penambahan titik—titik hotspot broadband di sejumlah tempat keramaian juga bisa mengurangi kemacetan, seperti mengerjakan pekerjaan kantor dari kafe dan langsung dikirim via e-mail.

Hitungan kasar penulis: untuk membangun kabel optik se-Jakarta, sampai ke tingkat RW, kurang lebih 6.000 kilometer. Jika biaya galian per meter Rp 100.000, maka dengan subsidi Rp 600 miliar Jakarta sudah bisa menikmati Fiber to the Home setara dengan biaya 10 ruas flyover atau underpass.

Dan efek ekonomi-nya akan sangat luar biasa! Nyaris tidak terbayang bila ini bisa diwujudkan. Semoga saja, pemerintah mau mempertimbangkan solusi alternatif seperti ini. Jangan sampai masyarakat tambah yakin dengan stigma 'kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah? Kalau bisa mahal kenapa dibuat murah?'

sumber : www.detikinet.com

0 komentar :

Posting Komentar